Martin Nababan – Di era transformasi digital yang bergerak dengan kecepatan eksponensial, korporasi modern dihadapkan pada sebuah paradoks yang membingungkan namun nyata. Organisasi bisnis saat ini tidak lagi mengalami defisit informasi atau kekurangan data strategis. Sebaliknya, setiap entitas bisnis memiliki akses yang hampir tak terbatas terhadap big data, analitik dasbor real-time, laporan mendalam dari konsultan manajemen kelas dunia, hingga indikator kinerja utama (KPI) yang dirancang dengan presisi tinggi.
Namun, ironisnya, di tengah kelimpahan wawasan intelektual ini, banyak perusahaan justru mengalami kelumpuhan operasional. Semakin banyak pengetahuan yang diakumulasi, semakin lambat pergerakan strategis yang dieksekusi di lapangan. Fenomena ini menciptakan stagnasi berbahaya di mana organisasi menjadi sangat cerdas secara teoritis namun tumpul dalam implementasi praktis.
Fenomena krusial inilah yang diangkat oleh Jeffrey Pfeffer dan Robert Sutton melalui konsep The Knowing Doing Gap—sebuah jurang pemisah yang lebar antara knowing (mengetahui apa yang benar dan seharusnya dilakukan) dan doing (melakukan tindakan nyata yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut). Kesenjangan ini sering kali muncul ketika kultur organisasi lebih mengagungkan formulasi strategi yang rumit daripada keberanian untuk mengambil tindakan nyata.
Perusahaan menjadi sangat mahir dalam menyusun presentasi strategi yang memukau dan menganalisis masalah hingga ke elemen terkecil, namun dihinggapi ketakutan yang melumpuhkan ketika tiba saatnya melakukan eksperimen atau mengambil langkah pertama. Masalah fundamental ini tidak berakar pada kurangnya kecerdasan kolektif, melainkan pada budaya yang menempatkan wacana di atas eksekusi.
Seringkali, organisasi terjebak dalam ilusi bahwa rapat yang panjang dan diskusi mendalam setara dengan produktivitas kerja. Ide-ide besar sering kali disalahartikan sebagai hasil besar, padahal transformasi bisnis yang sejati tidak pernah terjadi di dalam ruang rapat yang nyaman. Transformasi selalu lahir dari keputusan berani dan tindakan nyata di lapangan operasional. Mengetahui arah yang benar tanpa memiliki kapabilitas atau keberanian untuk bergerak ke arah tersebut adalah resep fatal bagi keberlangsungan bisnis jangka panjang.
Oleh karena itu, memahami secara mendalam akar penyebab The Knowing Doing Gap serta menerapkan langkah taktis untuk menjembataninya bukan lagi sekadar opsi manajerial, melainkan sebuah urgensi vital bagi para pemimpin bisnis yang ingin membawa organisasinya bertahan dan bertumbuh di tengah kompetisi global yang semakin agresif.

1. Dunia yang Semakin Pintar, Namun Semakin Lambat Bergerak
Di tengah era digital, ketersediaan pengetahuan seharusnya mempercepat pengambilan keputusan, namun realitas menunjukkan sebaliknya. The Knowing Doing Gap muncul bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena hambatan kultural yang sistematis.
Organisasi sering kali menciptakan lingkungan yang secara tidak sadar menghukum tindakan dan memberi penghargaan pada kepatuhan terhadap prosedur yang kaku. Rapat demi rapat digelar untuk membahas rencana, namun eksekusi sering kali tertunda karena ketakutan akan kegagalan atau keinginan untuk mencapai kesempurnaan sebelum memulai.
Analisis mendalam terhadap fenomena ini mengungkapkan beberapa akar penyebab utama yang membuat organisasi terjebak dalam inersia. Berikut adalah pemetaan faktor-faktor penyebab The Knowing Doing Gap yang sering ditemukan dalam organisasi modern:
| Faktor | Makna | Dampak |
|---|---|---|
| Smart Talk Trap | Bicara dianggap sama dengan bekerja. Kemampuan berargumen lebih dihargai daripada penyelesaian masalah nyata. | Eksekusi mandek; energi habis di diskusi tanpa tindakan. |
| Memory as Substitute | Keberhasilan masa lalu digunakan sebagai alasan menolak ide baru. | Inovasi terhambat dan organisasi gagal mengikuti perubahan pasar. |
| Fear (Ketakutan) | Lingkungan kerja menghukum kesalahan sehingga tidak ada ruang belajar. | Pegawai menghindari risiko dan inisiatif baru; budaya bermain aman mendominasi. |
| Wrong Metrics | KPI tidak mendukung tujuan strategis dan tidak mendorong perilaku progresif. | Organisasi fokus mengejar angka, bukan dampak nyata. |
| Internal Silo | Tim bekerja terpisah dan minim integrasi lintas fungsi. | Informasi terhambat, keputusan lambat, dan perusahaan kehilangan kelincahan. |
Pembiaran terhadap faktor-faktor di atas mengakibatkan organisasi kehilangan momentum kompetitif. Strategi yang brilian hanya akan berakhir sebagai dokumen statis jika tidak ada jembatan yang kuat menuju implementasi.
2. Amerika: Negeri Inovasi yang Masih Bisa Tersandung
Amerika Serikat sering dipandang sebagai kiblat inovasi teknologi dan tempat lahirnya ide-ide disruptif. Namun, sejarah industri Amerika juga mencatat kegagalan-kegagalan besar yang bukan disebabkan oleh kurangnya visi, melainkan oleh ketidakmampuan bertindak cepat. The Knowing Doing Gap terbukti dapat melumpuhkan raksasa teknologi sekalipun.
Motorola Mobility: Melihat Masa Depan, Tetapi Tidak Mengambilnya
Motorola sejatinya adalah salah satu pionir yang memahami tren perangkat seluler jauh sebelum para pesaingnya. Tim insinyur mereka bahkan telah mengembangkan prototipe layar sentuh dan teknologi canggih lainnya bertahun-tahun sebelum iPhone mengguncang dunia. Motorola memiliki pengetahuan teknis dan visi masa depan yang jelas.
Namun, pengetahuan tersebut tidak dikonversi menjadi dominasi pasar karena hambatan internal. Motorola lebih sibuk terjebak dalam:
- Rapat strategi yang berlarut-larut tanpa keputusan final.
- Roadmap produk yang terus berubah setiap bulan karena keraguan manajemen.
- Konflik kepentingan antar divisi yang memecah fokus perusahaan.
- Kekhawatiran berlebihan untuk meninggalkan produk warisan masa lalu.
Akibatnya, Motorola tahu apa yang akan terjadi, tetapi tidak melakukan tindakan yang diperlukan. Mereka melihat peluang emas tersebut, namun membiarkan Samsung dan Apple mengambil alih pasar dalam hitungan tahun.
Hewlett-Packard (HP): Strategi Besar, Eksekusi Lemah
HP menyadari sepenuhnya bahwa bisnis inti mereka—Personal Computer (PC)—tidak akan bertahan selamanya sebagai mesin pertumbuhan utama. Manajemen Hewlett-Packard tahu bahwa komputasi awan (cloud computing) dan perangkat lunak enterprise adalah masa depan. Visi strategis mereka sudah tepat.
Akan tetapi, struktur organisasi yang terlalu besar, penuh dengan silo birokrasi, serta pergantian CEO yang terlalu sering, membuat Hewlett-Packard gagal mengeksekusi transformasi tersebut dengan disiplin. Setiap pergantian kepemimpinan membawa arah baru yang membingungkan, sehingga eksekusi menjadi tidak konsisten.
Hewlett-Packard kehilangan momentum krusial karena The Knowing Doing Gap menghentikan transformasi mereka sebelum benar-benar dimulai. Mereka mengetahui jalan yang harus ditempuh, namun kaki organisasi terlalu kaku untuk melangkah di jalur tersebut.
Amazon & Tesla: Ketika Eksekusi Menjadi Identitas
Sebaliknya, Amazon dan Tesla memberikan pelajaran paling berharga: perusahaan hebat bukan yang paling tahu, tetapi yang paling cepat bertindak.
Amazon — Budaya “Bias for Action” Amazon membangun budaya organisasi yang secara agresif berorientasi pada tindakan. Mereka memecah tim besar menjadi unit-unit otonom yang disebut Two-Pizza Teams agar pengambilan keputusan menjadi sangat cepat. Konsep Two-Way Door Decision diterapkan untuk membedakan keputusan yang bisa dibalik (reversibel) dan yang tidak. Keputusan reversibel harus dibuat cepat tanpa analisis berlebihan. Amazon juga menormalisasi eksperimen meski berisiko gagal. Hasilnya adalah inovasi tanpa henti seperti AWS, Prime, dan Marketplace.
Tesla — Keberanian Melampaui Analisis Tesla membaca arah kendaraan listrik (EV) lebih cepat dari kompetitor, namun keunggulan utamanya adalah keberanian eksekusi:
- Membangun Gigafactory berskala global saat pemain lain ragu.
- Melakukan pembaruan perangkat lunak Over-the-Air (OTA) untuk mobil, mengubah paradigma industri otomotif.
- Memotong jalur dealer tradisional melalui penjualan direct-to-consumer.
- Memperlakukan mobil layaknya perangkat lunak yang terus berkembang.
Tesla tidak menunggu dunia berubah; mereka bertindak agresif untuk mengubah dunia itu sendiri.
3. Eropa: Tradisi Kuat, Namun Tidak Selalu Siap Bergerak Cepat
Eropa dikenal dengan sejarah industri yang panjang, standar kualitas produk yang tinggi, dan manajemen yang sangat hati-hati. Namun, kehati-hatian ini sering kali menjadi pedang bermata dua yang memicu The Knowing Doing Gap.
Nokia & Siemens: Tahu Masa Depan, Namun Terlambat Meninggalkannya
Nokia sangat menyadari bahwa smartphone berbasis ekosistem aplikasi adalah masa depan telekomunikasi. Namun, keterikatan emosional dan finansial pada sistem operasi Symbian—yang menjadi sumber kesuksesan masa lalu mereka—sangat kuat. Birokrasi internal membuat keputusan inovasi memakan waktu yang sangat panjang, sehingga “kapal besar” Nokia bergerak terlalu lambat untuk menghindari gunung es perubahan pasar.
Hal serupa dialami Siemens. Meski memiliki teknologi kelas dunia, struktur manajemen multi-layer membuat eksekusi menjadi lambat. Mereka tahu apa yang seharusnya dilakukan secara teknis, tetapi setiap keputusan strategis membutuhkan terlalu banyak lapisan persetujuan.
Pelajaran dari Nokia dan Siemens adalah bahwa The Knowing Doing Gap sering kali lahir dari kesuksesan masa lalu; perusahaan menjadi terlalu takut untuk “membunuh” produk lama demi masa depan.
IKEA & ASML: Konsistensi yang Menjadi Mesin Keunggulan
Namun, Eropa juga memiliki contoh keberhasilan dalam menutup celah ini.
IKEA — Filosofi Sederhana, Eksekusi Luar Biasa IKEA memahami kebutuhan konsumen akan furnitur terjangkau dan estetis jauh lebih baik daripada pesaingnya. Keunggulan mereka terletak pada konsistensi eksekusi visi tersebut selama puluhan tahun:
• Desain flat-pack,
• Self-service store,
• Logistik yang efisien,
• Pengalaman pelanggan yang konsisten di seluruh dunia.
Mereka tidak hanya tahu konsep efisiensi, mereka menjalankannya tanpa kompromi setiap hari.
ASML — Fokus Jangka Panjang yang Jarang Dimiliki Perusahaan Lain ASML memahami bahwa Extreme Ultraviolet Lithography (EUV) adalah masa depan mutlak bagi industri semikonduktor. Meskipun menghadapi risiko finansial raksasa dan tantangan teknis yang hampir mustahil, mereka tetap fokus pada satu teknologi ini selama beberapa dekade. Kini, seluruh industri chip dunia bergantung pada ASML. Mereka tidak hanya memprediksi masa depan, mereka melangkah ke sana dengan ketekunan luar biasa.
4. Asia: Keberanian Bertindak Mengalahkan Semua Teori
Pelajaran dari Asia, terutama Tiongkok, memberikan perspektif yang lebih agresif: kecepatan sering kali mengalahkan kesempurnaan. Perusahaan Asia cenderung bergerak cepat dan melakukan perbaikan sambil berlari, sebuah antitesis dari kelumpuhan analisis.
Toshiba & LG Mobile: Pengetahuan Tanpa Keberanian Tidak Menghasilkan Perubahan
Toshiba mengetahui bahwa semikonduktor adalah masa depan teknologi. Namun, ketika konflik internal manajemen dan skandal akuntansi melanda, perusahaan kehilangan arah strategis. Keputusan penting tertunda, proyek baru tidak berjalan, dan organisasi kehilangan fokus.
LG Mobile juga memahami wawasan konsumen dengan sangat baik, namun gagal mengubah pengetahuan itu menjadi produk yang mendominasi pasar. Mereka tahu fitur apa yang dibutuhkan, tetapi gagal menjalankan iterasi produk yang cepat dan disiplin. Di sini terlihat bahwa di Asia pun, pengetahuan besar tanpa keberanian bertindak hanya akan menghasilkan stagnasi.
BYD, CATL, Huawei: Eksekusi yang Lebih Cepat dari Analisis
BYD — Menyalip Tesla dengan Kecepatan Luar Biasa
BYD tidak hanya menganalisis tren EV. Mereka melakukan langkah-langkah konkret yang signifikan:
- Vertikal integrasi.
- Manufaktur baterai internal.
- Iterasi model sangat cepat.
- Masuk ke segmen pasar yang luas.
Pada periode 2023–2024, strategi eksekusi cepat ini membawa BYD mengalahkan Tesla dalam penjualan EV global.
CATL — Mengolah Riset Menjadi Eksekusi Cepat
CATL memahami bahwa baterai adalah jantung industri kendaraan listrik. Keunggulan mereka bukan hanya pada riset laboratorium, melainkan pada kecepatan eksekusi mengubah hasil riset menjadi produk massal dalam waktu singkat.
Huawei — Bangkit Melalui Keberanian Mengubah Semua yang Lama
Ketika menghadapi blokade akses chip dari Amerika, Huawei tidak berhenti pada tahap analisis dampak. Mereka bertindak radikal: mengganti ribuan komponen dalam rantai pasok, mengembangkan chip sendiri, membangun sistem operasi mandiri, dan meluncurkan Mate 60 sebagai simbol kebangkitan. Ini membuktikan prinsip kepemimpinan: “Pemimpin yang inovatif adalah pemimpin yang mau mendengar suara lapangan. Di lapangan, kebenaran terlihat tanpa filter.”
5. Lima Pilar Mengubah Pengetahuan Menjadi Tindakan
Untuk menjembatani The Knowing Doing Gap, organisasi perlu menerapkan kerangka kerja yang mendorong aksi nyata.
Bergerak Dulu, Sempurnakan Sambil Jalan
Keputusan kecil yang dieksekusi hari ini jauh lebih berharga daripada strategi besar yang hanya tersimpan dalam dokumen. Organisasi harus mengadopsi mentalitas agile, di mana peluncuran awal dan perbaikan iteratif lebih diutamakan daripada menunggu kesempurnaan yang tak kunjung datang.
Ciptakan Psychological Safety (Keamanan Psikologis)
Manusia hanya akan bergerak cepat dan berani berinovasi jika mereka tidak takut dihukum saat melakukan kesalahan. Menciptakan lingkungan yang aman secara psikologis adalah fondasi mutlak bagi budaya eksekusi. Kegagalan harus dilihat sebagai data untuk perbaikan, bukan alasan untuk sanksi.
Gunakan Leading Indicators (Indikator Prediktif)
Fokuslah pada metrik yang mendorong perilaku aktif, bukan hanya angka hasil akhir (lagging indicators). Pantau jumlah eksperimen baru, kecepatan respons tim, atau tingkat keterlibatan pelanggan sebagai indikator kesehatan eksekusi organisasi.
Jadikan Kolaborasi Sebagai Struktur, Bukan Slogan
Kolaborasi lintas fungsi sering kali terhambat oleh struktur kaku. Model seperti Squad–Chapter–Tribe yang dipopulerkan Spotify menunjukkan bahwa kolaborasi harus ditopang oleh desain organisasi yang disengaja, yang menghancurkan silo dan memaksa tim untuk bekerja bersama demi tujuan bersama.
Kepemimpinan yang Memulai Langkah Pertama
Pemimpin tidak bisa hanya memerintah dari menara gading. Pemimpin harus memberi contoh nyata. Ketika pemimpin menunjukkan urgensi dan keberanian bertindak, tim akan mengikuti ritme tersebut. Pesan penting di sini adalah:
“Rapat yang efektif adalah rapat yang menghasilkan satu keputusan yang langsung dijalankan.”
6. Kesimpulan: Apa yang Harus Dilakukan Para Leader?
Meninjau seluruh dinamika bisnis dari Amerika, Eropa, hingga Asia, ditemukan satu pola universal yang konsisten: perusahaan tidak berubah dan menang karena mereka tahu paling banyak, tetapi karena mereka berani melakukan apa yang mereka tahu. Pengetahuan hanyalah potensi kekuatan; eksekusi adalah kekuatan yang sebenarnya.
Bagi para pemimpin bisnis masa kini, langkah ke depan sangatlah jelas:
- Dengarkan lapangan: Di sanalah realitas bisnis yang sebenarnya berada, bebas dari bias laporan manajerial.
- Ambil keputusan lebih cepat: Kesempurnaan bukanlah tujuan utama; momentum dan kecepatan adalah kunci dalam memenangkan persaingan.
- Jadikan tindakan sebagai budaya: Berikan penghargaan pada keberanian untuk mencoba, bukan hanya pada keberhasilan.
- Beri teladan: Gerakan organisasi adalah cerminan langsung dari gerakan pemimpinnya.
Pada akhirnya, mengatasi The Knowing Doing Gap bukanlah tantangan teknis semata. Ini adalah tantangan karakter dan keberanian. Organisasi akan memenangkan masa depan bukan karena arsip pengetahuannya paling tebal, tetapi karena jejak tindakannya paling nyata dan berdampak.
Kami mengundang para praktisi manajemen dan pemimpin bisnis untuk berbagi pandangan: Bagaimana tantangan eksekusi di organisasi Anda saat ini? Apakah budaya “takut salah” masih mendominasi, atau keberanian bertindak sudah mulai tumbuh? Silakan tinggalkan pengalaman dan pemikiran Anda di kolom komentar untuk memperkaya diskusi kita bersama.
Referensi:
- Pfeffer, Jeffrey & Sutton, Robert — The Knowing–Doing Gap (Harvard Business School Press, 2000)
- Amy Edmondson — The Fearless Organization (Wiley, 2019)
- Satya Nadella — Hit Refresh (Harper Business, 2017)
- Jeff Liker — The Toyota Way (McGraw Hill, 2004)
- Clayton Christensen — The Innovator’s Dilemma (HBS Press, 1997)
- Eric Ries — The Lean Startup (Crown, 2011)
- Harvard Business Review — “Why Strategy Execution Unravels” (2015)
- McKinsey — “Bridging the Strategy-to-Execution Gap” (2023)
- Financial Times — “How ASML Became Europe’s Most Important Tech Company” (2022)
- Reuters — “BYD Overtakes Tesla in Global EV Sales” (2024)
- Bloomberg — “Inside Tesla’s Innovation Cycle” (2023)
- CNBC — “Why Motorola Failed in the Smartphone Era” (2022)
- Fast Company — “Spotify Squad Model Explained” (2016)
- Nikkei Asia — “Huawei’s Reinvention After US Sanctions” (2023)
- The Economist — “IKEA’s Discipline of Simplicity” (2021)







